Pekanbaru, 12 Maret 2025—Paradigma menilai pemangkasan anggaran kementerian/lembaga hingga pemerintahan daerah turut melanggengkan terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Pemangkasan ini tidak menyentuh substansi penyelesaian bencana ekologis dan upaya menghentikan timbulnya titik api yang merusak hutan dan lahan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah menyiarkan kabar bahwa sejak November 2024 hingga April 2025 nanti, 67 persen wilayah Indonesia termasuk Riau akan menerima hujan lebih tinggi dan La Nina lemah[1]. Terbarunya, diawal Februari lalu BMKG kembali mengabarkan, bahwa mulai Juni hingga Agustus nanti curah hujan rendah. Diprediksikan sepanjang waktu tersebut terjadi kekeringan lebih parah dari tahun sebelumnya[2]. Ini akan meningkatkan potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Meskipun saat ini masih dalam musim penghujan, data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Februari 2025, Karhutla telah menghanguskan 72,31 hektar lahan di Dumai, Bengkalis, Siak, Indragiri Hilir dan Kepulauan Meranti[3]. Jika titik api tetap muncul saat musim hujan, bagaimana kondisi saat musim kemarau tiba? Bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam menghadapi ancaman Karhutla?
Apalagi Presiden Prabowo, sejak 22 Januari lalu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Peraturan ini ditujukan kepada kementerian/lembaga, Polri, Tentara Nasional Indonesia, pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten/kota dengan target pemangkasan sebanyak Rp 306 Triliun[4]. Anggaran kementerian/lembaga dipangkas sebanyak 256 Triliun dan dana transfer ke daerah sebanyak Rp 50 Triliun.
Berikut kementerian/lembaga yang terlibat dalam penanggulangan Karhutla terkena pemangkasan:
Nama Kementerian/Lembaga | Pagu Awal (Rp) | Pagu Setelah Pemangkasan |
Kementerian Kehutanan | 5,1 Triliun | 3,9 Triliun |
Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH | 1,07 Triliun | 754 Miliar |
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah | 1,4 Triliun | 956,6 Miliar |
Mabes TNI | 11,63 Triliun | 7,9 Triliun |
Polri | 126,8 Triliun | 106 Triliun |
BMKG | 2,8 Triliun | 1,42 Triliun |
Provinsi Riau | 9,2 Triliun | Potesi hilang 50%[5] |
Dengan pemangkasan ini, apakah pemerintah sudah mewaspadai dan memikirkan ulang bagaimana kerja penanggulangan Karhutla jika dihadapkan dengan kondisi pemangkasan anggaran?
Secara umum, skema penanggulangan Karhutla mencakup beberapa tahapan, dimulai dengan analisis iklim dan langkah-langkah pra-Karhutla, seperti monitoring cuaca oleh BMKG serta analisis wilayah rawan kebakaran dan modifikasi cuaca oleh TNI. Saat Karhutla terjadi, kabupaten/kota mengusulkan status tanggap darurat kepada pemerintah provinsi yang kemudian menetapkan status siaga darurat. Setelah status siaga keluar, Satgas Karhutla harus siap siaga dalam pemadaman, BNPB dengan helikopter pemadamnya, serta patroli dan pemadaman oleh Polri dan TNI dibantu oleh masyarakat peduli api. Selain itu, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran juga menjadi bagian penting dalam mitigasi Karhutla.
Namun, skema ini akan sulit berjalan efektif jika anggaran untuk berbagai institusi yang terlibat justru dipangkas. Bahkan, dalam kondisi tanpa pemangkasan anggaran pun, Karhutla tetap terjadi. Pada 2024, luas lahan yang terbakar mencapai 283.620 hektar, dengan Riau menyumbang 1.635 hektar[6] dan 23 tersangka dari 20 perkara telah ditetapkan. Pada 2023, total luas lahan terbakar lebih besar lagi, mencapai 1.161.192 hektar, dengan Riau menyumbang 2.632 hektar[7]. Karhutla pada periode tersebut dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
Dari kondisi penjabaran diatas, Riau dalam kondisi fenomena El Nino dan La Nina, tetap ada titik api dan lahan terbakar. Akankah Riau tetap dibiarkan terjadi Karhutla dan masyarakatnya menghirup asap beracun?

“Maka pemangkasan anggaran yang dilakukan ini tidak menyentuh substansi penyelesaian akar persoalan atas Karhutla yang menyebabkan asap yang mengganggu semua kegiatan makhluk ekologis. Nyatanya hingga kini Karhutla tidak bisa dihentikan secara permanen. Apapun niatan pemangkasan seharusnya tidak mengganggu anggaran pencegahan dan pengendalian Karhutla.” Ucap Riko Kurniawan, Direktur Paradigma.
Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidakjelasan status Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pasca berakhirnya masa tugasnya pada 31 Desember 2024. Riko Juga menjelaskan “Padahal, BRGM memiliki peran krusial dalam pemulihan dan restorasi gambut sebelum dan sesudah kebakaran. Tanpa lembaga yang jelas untuk menangani restorasi gambut, upaya pencegahan dan mitigasi Karhutla akan semakin sulit dilakukan”.#Paradigma
[1] https://www.bmkg.go.id/siaran-pers/bmkg-waspada-bencana-hidrometeorologi-la-nina-berlangsung-hingga-april-2025
[2] https://www.rri.co.id/daerah/1301975/musim-kemarau-2025-diprediksi-lebih-kering-dari-sebelumnya
[3] https://sumatra.bisnis.com/read/20250227/533/1843141/sampai-februari-2025-sudah-terdeteksi-136-hotspot-di-riau
[4] Inpres nomor 1 tahun 2025
[5] https://halloriau.com/m/read-14604443-2025-02-10-ikuti-instruksi-presiden-pemprov-riau-pangkas-anggaran-opd-2025.html
[6] https://mediacenter.riau.go.id/read/89510/selama-2024-karhutla-di-bumi-lancang-kuning-
[7] https://www.detik.com/sumut/berita/d-7120071/2-632-ha-lahan-terbakar-di-riau-sepanjang-2023